Mencari Sumber Pupuk Organik
Untuk mempertahankan dan meningkatkan bahan organik
tanah, diperlukan penambahan organik secara berangsur. Masalah utama dalam
penggunaan pupuk organik adalah perlu jumlah yang terlalu banyak, dan ketidak
tersediaan sumber bahan organik di lapang.
Memang pupuk kandang telah terbukti
sejak nenek moyang kita sebagai pupuk yang mampu untuk mempertahankan bahkan
memperbaiki kesuburan tanah. Kita tidak bisa mengandalkan pupuk kandang sebagai
satu-satunya sumber bahan organik, mengingat populasi ternak yang dimiliki
petani semakin lama semakin berkurang.
Oleh karena itu perlu dicari sumber bahan organik yang potensial setempat. Potensial setempat yang dimaksud
adalah sumber bahan organik tersebut mudah didapatkan dilapangan, dalam jumlah
memadai, dan efektif dalam peningkatan keharaan tanah.
Sebenarnya sumber bahan
organik yang ada di lapangan cukup banyak namun terkadang kita belum tahu atau
tidak biasa menggunakannya. Berbagai sumber bahan organik yang dapat
dikembangkan antara lain: pupuk hijau (hasil pangkasan tanaman), sisa tanaman
(misal jerami), sampah kota dan limbah industri.
Pupuk Hijau
Bahan organik yang digunakan
sebagai sumber pupuk dapat berasal dari bahan tanaman, yang sering disebut
sebagai pupuk hijau. Biasanya pupuk hijau yang digunakan berasal dari tanaman
legum, karena kemampuan tanaman ini mampu mengikat N2-udara dengan bantuan
bakteri rizobium, menyebabkan kadar N dalam tanaman relatif tinggi. Karena
kandungan hara nitrogennya tinggi, maka penggunan pupuk hijau dapat diberikan langsung bersama
pengolahan tanah, tanpa harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu.
Sebenarnya penggunaan pupuk
hijau ini bukan barang baru lagi, namun karena sudah banyak ditinggalkan oleh
petani maka pupuk hijau ini terabaikan. Misalnya pada tahun tujuh puluhan, merupakan suatu keharusan pihak pabrik
tembakau di Klaten, menanam Crotalaria
juncea (orok-orok) pada setiap habis panen tembakau, bertujuan untuk
mengembalikan dan memperbaiki kesuburan tanahnya. Setelah tembakau dipanen,
ditanam orok-orok, setelah besar maka tanaman orok-ork ini dirobohkan dan
dicampur dengan tanah saat pengolahan tanah (pembajakan) yang kemudian
digenangi.
Tetapi pada masa sekarang keharusan tersebut sukar dipenuhi baik
oleh pihak pabrik maupun petani. Petani merasa keberatan bila sawahnya ditanami
legum (orok-orok), karena dianggap tidak produktif, selama penanaman orok-orok
(sekitar 1 bulan). Tanaman Crotalaria
juncea di samping hasil biomasanya tinggi juga mempunyai kandungan N tinggi
pula (3,01 % N).
Masih banyak tanaman legum
lainya sebagai pupuk hijau yang dapat dikembangkan yang memiliki kualitas hara
tinggi. Tanaman legum semusim yang berbentuk perdu yang lain yang dapat
digunakan sebagai pupuk hijau adalah Tephrosia
candida, sedang yang berbentuk semak berbatang lembek antara lain Colopogonium muconaides (3,2 % N), Centrosema.
Sp, dan Mimosa invisa yang banyak
digunakan di perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit.
Untuk tanaman pupuk
hijau yang berbentuk pohon yang biasa digunakan sebagai pohon pelindung atau
sebagai tanaman pagar dalam sistem pertanian lorong antara lain Glerisedia sepium (gamal) (3,46 % N), Leucaena glauca (lamtoro) , dan Sesbania grandiflora (turi putih) (2,42
% N).
Tumbuhan air yang banyak dikembangkan sebagai pupuk hijau adalah Azolla ( A. mexicana, A. microphylla
dan A. pinnata). Tanaman air ini
termasuk tanaman penambat N2 udara. Azolla apabila dimasukkan dalam
tanah, pada kondisi tergenang akan terombak dan selama 2 minggu mampu melepas
60-80 % dari N yang dikandungnya. Penggunaan Azzola sebagai pupuk ini cukup
potensial dikembangkan dilahan persawahan.
Dalam penelitian dilaporkan
penggunaan Azolla untuk budidaya padi sawah mampu memasok 20-40 kg N per hektar
ke dalam tanah dan mampu meningkatkan hasil padi 19,23 % atau 0,5 ton per
hektar. Apabila penggunaan azolla diberikan dua kali yaitu sebelum dan sesudah
tanam, peningkatan hasil padi bisa
mencapai 38,46 % atau 1 ton per hektar.
Contoh lain tanaman air yang
banyak digunakan masyarakat sekitar Rawapening adalah memanfaatkan tanaman
enceng gondok sebagai sumber bahan organik untuk pupuk. Sebenarnya enceng
gondok sebagai pencemar pengairan yang banyak kita dapatkan diperairan kita
seperti di sungai-sungai, dam dan waduk yang dekat dengan perkotaan atau daerah
pertanian, karena adanya pengayaan hara dalam perairan maka tumbuh tanaman ini.
Walaupun tanaman ini tidak bisa menmbat N, namun karena pertumbuhan cepat dan
biomasa/volumenya banyak dan bahannya sangat lunak dan berair, maka enceng
gondok potensial dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang berkulitas. Pupuk
organik ini banyak digunakan untuk tanaman hias, hortikultura dan bahkan
perkebunan.
Pada akhir-akhir ini, mengingat semakin terbatasnya bahan organik
yang tersedia, maka dikembangkan tanaman-tanaman nonlegum untuk dapat digunakan
sebagai bahan pupuk hijau yang cukup potensial. Tentunya harus ada pedoman atau
patokan bahan tanaman yang potensial dapat digunakan untuk pupuk. Suatu tanaman
dapat digunakan sebagai pupuk hijau apabila
(1) cepat tumbuh;
(2) bagian atas
banyak dan lunak (succulent); dan
(3)
kesanggupannya tumbuh cepat pada tanah yang kurang subur, sehingga cocok dalam
rotasi.
Terkadang kita tidak berfikir penggunaan bahan organik mempunyai
kelebihan dalam pelepasan hara dapat secara perlahan-lahan, sehingga akan
berpengaruh pada penyediaan jangka panjangnya. Sehingga pengaruh residu bahan
organik dapat dirasakan pada musim tanam berikutnya.
Sebenarnya banyak bahan yang
dapat kita gunakan sebagai sumber bahan organik untuk pupuk. Bahkan dalam
penelitian yang telah saya lakukan, taaman kirinyu atau krenu (Cromolaena odorata) ternyata mempunyai
potensi untuk digunakan sebagai tanaman pupuk hijau pada budidaya kacang tanah.
Biomasa kirinyu mempunyai kandungan hara yang cukup tinggi, mengandung hara
nitrogen 2.65% N, mengandung hara fosfor 0.53% P dan mengandung hara kalium 1.9% K sehingga
biomasa kirinyu merupakan sumber bahan organik yang potensial untuk perbaikan
kesuburan tanah.
Contoh yang lain untuk daerah dataran tinggi, banyak tumbuh
tanaman perdu lainya yang dapat digunakan sebagai bahan pupuk hijau antara lain
tanaman paitan (Titonia diversifolia),
tanaman ini telah dikembangkan sebagai sumber bahan organik untuk meningkatkan
ketersediaan hara.
Sisa tanaman dan Sampah Kota
Sisa tanaman dapat digunakan
sebagai pupuk yang berperan sebagai suatu cadangan yang dapat didaurkan kembali
untuk meningkatkan ketersediaan dan pengawetan hara dalam tanah. Dalam
penggunaan sisa tanaman ini tentunya harus dilihat kandungan haranya.
Praktek-praktek pengelolaan sisa tanaman memegang peranan utama dalam mengatur
ketersediaan hara yang terkandung dalam sisa tanaman. Jerami padi, jagung dan
tebu merupakan sisa tanaman yang mempunyai nisbah C/N yang tinggi, sehingga
perlu adanya waktu pemeraman (incubation),
atau pengomposan terlebih dahulu dalam praktek pemakaiannya.
Sampah kota merupakan bahan
organik yang banyak kita temukan di kota-kota besar, yang merupakan
permasalahan lingkungan dalam penanganannya. Usaha penggunaan sampah kota untuk
aplikasi langsung di lahan pertanian, umumnya mengalami berbagai permasalahan.
Beberapa sebab ketidak berhasilan penggunaan sampah kota sebagai pupuk antara
lain:
(1) masalah ekonomi pengumpulannya dan pemindahan bahan,
(2) kesulitan
pemisahan dan pensortiran bahan yang tidak terlapukan secara biologis (seperti
: kaca, plastik, logam),
(3) kandungan hara khususnya N setiap bahan sangat
bervariasi.
Apabila bahan yang tahan lapuk telah dipilahkan, suatu teknologi
yang dapat direkomendasikan untuk pemanfaatan sampah kota adalah pengomposan.
Sifat yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan sampah kota :
(1) Adanya kontaminasi gelas, plastik dan logam,
sehingga bahan-bahan ini perlu dikeluarkan dari bahan pupuk;
(2) Kandungan
hara. Nilai C/N bahan pada umumnya masih relatif tinggi sehingga perlu
pengomposan;
(3) Komposisi organik sampah kota sangatlah bervariasi, bahkan
kadang-kadang terdapat senyawa organik yang bersifat racun bagi tanaman;
(4)
Terdapat banyak sekali macam mikrobia dalam sampah kota baik bakteri, fungi dan
actinomycetes, bahkan perlu diwaspadai adanya mikrobia patogen bagi tumbuhan
atau manusia.
Pengomposan
Pengomposan bertujuan untuk
mematangkan bahan organik yang masih mentah. Bahan organik yang masih mentah (C/N
tinggi), seperti jerami padi, jagung dan sampah kota, apabila diberikan secara
langsung ke dalam tanah akan berdampak negatip terhadap ketersediaan hara
tanah. Bahan organik langsung akan
disantap oleh mikrobia untuk memperoleh energi, dan akan memerlukan hara untuk
tumbuh dan berkembang, yang diambil dari tanah yang seyogyanya digunakan oleh
tanaman, sehingga justru terjadi persaingan mikrobia dan tanaman untuk
memperebutkan hara yang ada. Oleh karena itu bahan harus kita komposkan dahulu.
Salah satu cara pengomposan
yang sederhana adalah proses pengomposan aerob, cara ini paling mudah dilakukan
dan hasilnya relatif memuaskan. Sebenarnya proses pengomposan aerobik sampah
kota ini, dapat diterapkan dalam skala kecil. Yaitu sampah yang telah diambil
dari rumah tangga yang telah dipisahkan dari sampah anorganik ditumpuk disuatu
tempat dengan ketinggian tidak lebih dari 1,5 m, kemudian tumpukan sampah ini
diusahakan jangan terjadi pemadatan untuk menjamin pasokan aliran udara
(aerasi) di antara celah-celah antar
sampah. Setelah itu aktifitas biologi (mikrobia) mulai berjalan untuk mulai
proses perombakan sampah organik. Proses perombakan aerobik ini berlangsung
kurang lebih dalam 45 hari.
Selama proses pengomposan
berlangsung perlu kondisi kelembaban dan sirkulasi udara yang cukup baik untuk
aerasi. Pada hari ke 5-25
suhu dalam tumpukan akan meningkat. Tumpukan bahan semakin tambah hari akan
semakin menyusut. Selama pengomposan dalam keadaan aerob ini tidak menimbulkan
bau busuk bahkan sering kali menimbulkan aroma yang menyegarkan. Proses akan
lebih cepat jika kita siramkan air kencing sapi, domba dan lainnya. Unsur
amoniak (N) dari kencing ini akan memacu proses perombakan.
Atau dapat kita
tambahkan hara (pupuk). Untuk menjaga kelembaban perlu penyiraman secara
periodik. Pembalikan bahan perlu dilakukan. Kompos sudah matang jika
temperaatur stabil dan tidak panas lagi serta bentuk fisiknya berubah. Oleh
karena itu sumber bahan organik yang dapat kita gunakan dapat kita cari dari yang ada disekitar kita, sehingga
saatnya kita menuju ke pertanian organik.